- Version
- Download 0
- File Size 0.00 KB
- File Count 1
- Create Date July 22, 2024
- Last Updated July 23, 2024
Khittah Nahdlatul Ulama 1926
Khittah NU merupakan garis perjuangan NU dan secara normatif didefinisikan sebagai pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku bagi warga NU di dalam berkhidmat di segala aspeknya.
Ketika NU menjadi partai politik -sejak 1952, dan setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973-, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” NU dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya kembali kepada khittah.
KH. Abdul Wahab Hasbullah juga Menginginkan Khittah
Dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali setelah beberapa kali disuarakan dalam Muktamar sebelumnya. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin tetap mempertahankan NU sebagai partai politik.
Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.
Khittah Nahdlatul Ulama 1926
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926.
Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Rumusan Khittah NU 1926
Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa.
Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.